MUSIK
ORIENTAL
Musik oriental berkembang di Cina,Korea,dan
Jepang.Keunikan musik Cina dan Jepang terletak pada instrumen,khususnya alat
musik string baik yang dipetikk maupun yang digesek.Tangga nada yang digunakan
adalah tangga nada pentatonis.Suara alat musiknya ketika dimainkan aka
menimbulkan suara yang ekspresif.
Musik Jepang pada zaman dahulu sangat terpengaruh perkembangan musik daridaratan Cina dan Semenanjung Korea, tetapi lama kelamaan mempunyai sifat dancirri tersendiri. Ragam musiknya banyak digunakan di kuil-kuil, untuk memuja dewa,di istana, dan untuk hiburan sosial.
Orkes gagaku (musik
Jepang masa lampau) telah ada sejak abad ke-8. orkes
gagakuterdiri dari 17 musisi yang bermain instrument tiup kayu, petik, dan perkusi.Instrument
tiup meliputi flute(ryuteki), oboe(hichiriki), dan harmonica mulut
(sho).Instrument petik terdiri dari kecapi bengkok(shoko) dan drum
besar(taiko).Sekitar abad ke-15 musik instrument tunggal, shamisen dan koto
menjadi popular khususnya untuk memberikan iringan lagu dan drama musik.
Perkembangan musik drama mencapai keemasannya pada abad ke-17, dengan
format kabuki dari musik teater tradisional jepang.Adanta restorasi Meiji
pada pertengahan abad ke-18 membuat pengaruh Barat mulaimasuk dalam
perkembangan musik Jepang. Banyak format musik tradisonal Jepangdikembangkan
berdasarkan format musik barat, sehingga Jepang
telah memasuki perkembangan musik modern.
Jenis Musik :
Musik Jepang dapat dikelompokkan dalam dua katagori, yaitu:
Musik
Tradisional
Musik tradisional Jepang pada umumnya berbentuk musik festival religius,nyanyian bekerja, dan pengiring tarian. Pertujukkan rakyat, seperti tarian bertopeng, teater rakyat dan tarian rakyat merupakan bagian tak terpisahkandalam musik tradisional.
Musik Modern
Musik modern jepang dimulai pada tahun 1867, setelah Matsuhito Meijimenjadi kaisar Jepang. Satu guru yang bertanggung jawab untuk mengenalkangaya musik Eropa adalah Suzuki Shin’Ichi. Beliau menemukan metode pengajaran biola untuk anak-anak yang diadopsi dari sekolah musik di amerika serikat .
Alat
musik tradisional Jepang : SHAMISEN,KOTO & SHAKUHACHI
Tentang
sejarah KOTO
KOTO
adalah alat musik yang menyerupai kecapi di Indonesia, disebutkan masuk ke
Jepang sejak abad ke-7. Di masa itu, KOTO dimainkan sebagai salah satu bagian
musik Istana. Formasi KOTO yang dimainkan sebagai alat musik tunggal, tanpa
iringan alat musik lain, menjadi populer di masyarakat sejak abad 17. Pada abad
17 lahir maestro KOTO dan pencipta “HACHIDAN”(delapan babak)”dan “MIDARE” (lagu
berirama lepas) YATSUHASHI KENGYO. Ia menciptakan pakem dasar untuk SOKYOKU
(lagu-lagu KOTO).
Pada
dasarnya musik tradisional Jepang memiliki 5 tangga nada, kurang 2 tangga nada
dibandingkan dengan musik barat yang mempunyai 7 tangga nada “do re mi fa so la
si”. Namun, musik Jepang tradisional juga menyerap beragam tangga nada lainnya
sehingga menghasilkan irama yang sangat berbelit. Dasar-dasar musik istana atau
musik aristokrat diciptakan dengan menggunakan nada “do re mi so la” atau “re
mi so la si”. Cara ini disebut “YO-ONKAI” yang memiliki nada yang relatif
riang. Sedangkan YATSUHASHI KENGYO membuat “HIRAJOSHI” atau nada datar yang di
dalam tangga nadanya menggunakan “mi fa la si do” yang di antaranya ada
semitone sebagai nada dasar. Nada ini disebut “IN-ONKAI” yang lebih sendu dan
menggugah emosi sehingga masyarakat Jepang di jaman itu kerap terharu
mendengarkan nada ini. Setelah YATSUHASHI KENGYO memperkenalkan “HIRAJOSHI”,
SOKYOKU sangat berkembang dan dicintai sehingga diakui sebagai musik rakyat
Jepang.
YATSUHASHI
KENGYO bisa disebut sebagai pencipta SOKYOKU dan meninggal dunia pada tahun
1685. Jika kita menengok ke negara barat, Bach, yang dikenal sebagai pencipta
musik barat lahir pada tahun saat YATSUHASHI KENGYO meninggal.
Seputar
alat musik KOTO
Bagian
badan terbuat dari “KIRI” atau kayu paulownia yang dilubangi bagian dalamnya.
KOTO memiliki 13 dawai. Karena KOTO menggunakan 5 tangga nada maka dengan 13
dawai biasanya KOTO dapat menghasilkan sekitar 2.5 oktaf. Antara bagian badan
dan dawai ada “JI” sebagai penyangga dawai. Jika “JI’ digeser maka hasil suara
pun berubah. Mengatur nada (tuning), yang merupakan persiapan dasar untuk
permainan Koto, juga dilakukan dengan menggeser posisi “JI”. Selain
“HIRAJOSHI”, ada berbagai aturan nada(tuning) yang dikembangkan dari
“HIRAJOSHI”.
Dengan
menggunakan tangan kiri yang menekan dan menarik dawai, tangga nada dapat
berubah atau pun menghasilkan suara bernuansa vibrato. Pada awalnya dawai
dibuat dari sutera, tetapi zaman sekarang dawai juga menggunakan bahan lain
seperti bahan sintetis. Pemain dapat menggunakan “TSUME” atau kuku palsu untuk
3 jari di tangan kanan. Pada dasarnya KOTO dimainkan dengan menggunakan “TSUME”
yang terkadang digunakan pada jari lain atau pun pada jari-jari di tangan kiri.
Di dalam lagu SOKYOKU terkadang ada juga suara nyanyian.
KOTO
memang dimainkan bukan untuk mengiringi nyanyian, tetapi suara nyanyian juga
dianggap sebagai salah satu jenis alat musik. Dalam artian, alat musik dan
suara sama-sama dianggap berperan penting untuk menghasilkan musik. Di Jepang,
sejak zaman dahulu hingga saat ini KOTO sering diibaratkan sebagai “RYU” atau
“Naga” sehingga bagian-bagian alat musik ini juga dinamai “RYUKAKU” (tanduk
Naga), “RYUKOU” (mulut Naga), “RYUBI” (ekor Naga), dll. Di berbagai negara di
Asia, naga dihormati seperti dewa dan dianggap sebagai mahluk mitos spiritual
tinggi. Dengan demikian bisa dibayangkan bila KOTO juga sangat dicintai oleh
masyarakat Jepang.
Seputar
alat musik SHAMISEN
Orang
Jepang kerap tergetar ketika melihat bentuk SHAMISEN yang sangat indah, bahkan
ada yang berkata bahwa bentuk ini terinspirasi dari bentuk tubuh wanita.
SHAMISEN mempunyai 3 dawai dengan ketebalan berbeda. Dawai yang paling tebal
menghasilkan suara yang paling rendah dan dawai yang paling tipis menghasilkan
suara yang paling tinggi.
Di
antara bagian badan dan dawai ada “KOMA” untuk menghasilkan suara SHAMISEN.
Waktu memainkan SHAMISEN kita harus memegang BACHI-pemetik dawai-dengan tangan
kanan, dan menyapu dawai dari arah atas ke bawah atau dari arah bawah ke atas
dengan ujung BACHI sehingga mengeluarkan suara. SAO yang panjang ini adalah
bagian penampang kayu (fingerboard/neck) yang dipegang oleh tangan kiri. Pada
bagian SAO tidak ada tanda untuk menunjukkan posisi tempat pegangan, tidak seperti
gitar yang mempunyai fret. Pemain dapat menghasilkan suara SHAMISEN yang tepat
dengan mengandalkan intuisi serta pendengaran yang dihasilkan dari
pengalamannya. Bagian yang dipegang untuk menghasilkan suatu nada di dalam SAO
ini disebut “TSUBO” atau “KANDOKORO”. Dengan tangan kiri pemain bukan hanya
menekan dawai, tetapi juga menjepit dan meluncurkan jari serta menggoyangnya
untuk merubah nada. Cara lain adalah dengan mengetuk dan memetiknya.
SHAMISEN
terbuat dari “KOBOKU” atau ”Red Sanders” sejenis kayu yang sangat keras berasal
dari India Selatan untuk menahan kuku pemain yang mencengkeram kuat. Dawai
terbuat dari sutra dan “DO” (bagian badan) dibuat dari kulit binatang. Memang
hampir semua alat musik tradisional Jepang seperti SHAMISEN dibuat dari
bahan-bahan alami. SHAMISEN yang dimainkan menggunakan BACHI (pemetik dawai)
berasal dari “SANSHIN”, alat musik tradisional daerah OKINAWA (daerah paling
selatan di Jepang) yang menggunakan kulit ular. Pada abad 16 SANSHIN sudah
populer di OKINAWA dan bentuk ini berkembang menjadi SHAMISEN khas Jepang yang
dikenal saat ini. SHAMISEN tidak seperti KOTO yang berawal sebagai alat musik
istana,yang dimainkan oleh kalangan elit. Dari awal SHAMISEN berkembang sebagai
alat musik di antara kalangan rakyat biasa.
Musik
SHAMISEN memiliki berbagai genre dan ada beberapa jenis alat SHAMISEN yang
ukuran dan ketebalannya berbeda. Genre musik SHAMISEN yang akan dimainkan hari
ini termasuk dalam kategori “JIUTA”. Ada jenis musik SHAMISEN yang berkembang
sebagai pengiring atau suara efek di teater, tetapi “JIUTA” ini berkembang
sebagai musik murni yang dimainkan bersama KOTO atau SHAKUHACHI, alat musik
tiup tradisional Jepang. “SANKYOKU” adalah salah satu bentuk musik “ansambel”
yang dimainkan menggunakan tiga alat musik tradisional Jepang yaitu SHAMISEN,
KOTO dan SHAKUHACHI. Diperlukan waktu cukup lama sampai terlahir ansambel tiga
alat musik ini karena masing-masing sudah dikenal masyarakat sebagai alat musik
tunggal. Namun demikian, bergabungnya tiga alat musik ini, justru menghasilkan
kualitas musik yang lebih kaya dan meluas.
Seputar
alat musik SHAKUHACHI
Model
SHAKUHACHI (seruling Jepang) yang dikenal masyarakat saat ini disebut
“FUKESHAKUHACHI”, berasal dari zaman pertengahan era KAMAKURA. Pada zaman
tersebut seorang biksu ZEN bernama Kakushin, belajar di negeri Cina dan
mempelajari lagu SHAKUHACHI untuk menyampaikan ajaran FUKE, guru agama Budha
aliran ZEN. Kakushin mempelajarinya dari seorang guru Cina, CHOSHIN, dan
membawa pulang lagu dan alat musiknya ke Jepang. Sejak itu SHAKUHACHI digunakan
sebagai alat penyebaran agama oleh biksu-biksu aliran HOTTOHA RINZAISHU, salah
satu bagian dari aliran ZEN. Dari sejarah ini juga bisa diketahui bahwa semua
lagu klasik SHAKUHACHI yang disebut “SHAKUHACHI KOTEN HONKYOKU (lagu klasik
khusus SHAKUHACHI)” memuat ajaran agama Budha Zen. Ukuran panjang
FUKE-CHAKUHACHI adalah kurang-lebih 54cm atau dalam satuan ukuran tradisional
Jepang,1 SHAKU 8 SUN. Namun akhir-akhir ini ukuran panjang SHAKUHACHI
bervariasi dan nada dasar ditentukan berdasarkan ukuran panjang tersebut.
SHAKUHACHI
dibuat dari bambu, di bagian dekat akar, dengan diameter 3.5cm-4,0cm. Ada 5
lubang, 4 di bagian depan dan 1 di bagian belakang. Sisi dalam SHAKUHACHI
digosok sampai halus, bahkan belakangan ini bagian dalamnya diolesi SHU-URUSHI
(bahan pewarna alam berwarna merah) atau KURO-URUSHI (bahan pewarna alam yang
berwarna hitam), agar menghasilkan suara yang halus dan indah. Dulu, bagian
mulut SHAKUHACHI dipotong menyerong, tetapi sekarang pada bagian mulut
dipasangi tanduk rusa atau kerbau supaya lebih kokoh. SHAKUHACHI merupakan
seruling yang dapat menghasilkan warna suara yang bervariasi dan nada suara
yang paling sensitif di antara seruling tradisional Jepang, baik seruling tiup
samping (horizontal) maupun seruling tiup depan (vertikal). Oleh karena ciri
khas itu SHAKUHACHI mempunyai posisi tersendiri di dalam alat musik tradisional
Jepang.
Kimigayo
Meskipun Kimigayo telah lama menjadi lagu kebangsaan de facto Jepang, lagu ini secara hukum baru diakui resmi pada tahun 1999 dengan disahkannya undang-undang mengenai bendera nasional dan lagu kebangsaan Jepang. Setelah ditetapkan, terdapat kontroversi mengenai diputarnya lagu kebangsaan tersebut pada perayaan-perayaan di sekolah umum. Kimigayo, seperti juga bendera Hinomaru, oleh beberapa pihak dianggap merupakan simbol dari imperialisme dan militerisme Jepang.
Kerikil Sazare-Ishi
dipercaya berubah menjadi batu karang dalam beberapa legenda. Foto di Kuil Shimogamo
di Kyōto.
Lirik lagu
ini pertama kali muncul dalam sebuah antologi puisi bernama Kokin Wakashū, sebagai sebuah
puisi yang anonim. Meskipun sebuah puisi anonim bukanlah tidak lazim pada waktu
itu, identitas pengarang yang sebenarnya mungkin saja sudah diketahui, tetapi
namanya mungkin sengaja tidak disebutkan karena berasal dari kelas sosial yang
lebih rendah. Puisi ini dicantumkan dalam berbagai antologi, dan dalam periode
selanjutnya digunakan sebagai lagu perayaan oleh orang-orang dari semua lapisan
sosial. Tidak seperti bentuknya yang digunakan untuk lagu kebangsaan saat ini,
puisi ini awalnya dimulai dengan "Wa ga Kimi wa" (Engkau,
Yang Mulia) dan bukannya "Kimi ga Yo wa" (Kekuasaan
Yang Mulia). Perubahan lirik terjadi pada zaman
Kamakura.Pada tahun 1869 di awal zaman Meiji, seorang pemimpin band militer Irlandia bernama John William Fenton yang sedang berkunjung ke Jepang menyadari bahwa Jepang tidak memiliki lagu kebangsaan nasional. Ia menyarankan kepada Iwao Ōyama, seorang perwira dari Klan Satsuma, agar menciptakan lagu kebangsaan tersebut. Ōyama setuju, dan memilihkan liriknya. Lirik yang terpilih memiliki kemiripan dengan lagu kebangsaan Inggris, kemungkinan karena adanya pengaruh dari Fenton. Setelah Ōyama memilih lirik lagu kebangsaan, ia kemudian meminta Fenton untuk menciptakan melodinya. Setelah diberikan hanya tiga minggu untuk menggubah lagu dan hanya beberapa hari untuk berlatih, Fenton menampilkan pertama kalinya lagu kebangsaan itu di depan Kaisar Jepang pada tahun 1870. Ini adalah versi pertama Kimigayo, yang disingkirkan karena melodinya dianggap "kurang khidmat". Namun, versi ini masih tetap diperdengarkan setiap tahun di Kuil Myōkōji di Yokohama, tempat Fenton pernah menjabat sebagai pemimpin band militer. Myōkōji berperan sebagai tempat peringatan bagi Fenton.
Pada tahun 1880, Biro Rumah Tangga Kekaisaran menyetujui suatu melodi baru yang ditulis oleh Yoshiisa Oku dan Akimori Hayashi. Komposer versi ini sering tertulis sebagai Hiromori Hayashi, yang sesungguhnya adalah ayah dan sekaligus atasan dari Akimori. Akimori juga merupakan salah satu murid Fenton. Meskipun melodi ini dibuat berdasarkan pada bentuk tradisional musik istana Jepang, namun ia digubah dalam gaya campuran yang terpengaruhi oleh himne Barat, dan menggunakan beberapa elemen dari aransemen Fenton. Musisi Jerman Franz Eckert kemudian menerapkan harmoni melodi gaya Barat (mode Gregorian), sehingga menciptakan versi Kimigayo yang dipakai sekarang. Pada 1893, berkat usaha Departemen Pendidikan, Kimigayo masuk dalam perayaan-perayaan di sekolah umum. Kimigayo dimainkan di nada C mayor, menurut harian The Japan Times.
Lirik lagu “Kimigayo”
Kimi ga yo wa
Chiyo ni,
Yachiyo ni
Sazare ishi no,
Iwao to narite,
Koke no musu made.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar